Sejarah Singkat Rantau Kalis
a. Sejarah dan migrasinya Dayak Kalis di Ketamunggungan Dayak Kalis, Kecamatan Kalis, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat.
Dalam cerita secara turun temurun orang Kalis, dikisahkan bahwa Dayak Kalis awalnya bernama Ruk. Nama Kalis sendiri diambil dari kata Sungai Kalis. Karena mereka mendiami Sungai Kalis maka suku Ruk berubah nama disebut suku Dayak Kalis. Pada jaman dulu jumlah penduduk Suku Kalis tidak terlalu banyak.
Sesuai dengan catatan buku sejarah Kerajaan Bunut di Nanga Bunut dengan tulisan berbahasa Arab dikatakan bahwa belum ada manusia yang mendiami di Kapuas Hulu, yakni suku Kalis sudah. Suku Kalis berdiri sendiri tanpa ada gabungan dari suku bangsa lain. Suku Kalis pada awal mulanya adalah mendiami perhuluan Sungai Kapuas yakni di sekitar Daerah Nanga Balang, Desa Beringin Jaya Kecmatan Putussibau Selatan-Kapuas Hulu. Hal ini terbukti dengan adanya peninggalan bersejarah berupa pecahan mangkok tua yang sampai saat ini belum ada ahli yang dapat membuktikannya.Akibat adanya pertikian pada jaman dulu antarsuku yang saling bermusuhan dan saling serang menyerang terutama dari Kalimantan Timur, dan karena merasa tidak aman akhirnya mereka pindahmenghiliri Sungai Kapuas dan membuat pemukiman baru yang posisi pemukiman tersebut saat ini berada di daerah Lunsa. Dari Lunsa mereka menghiliri Sungai Kapuas dan membuat pemukiman baru di daerah Danau Ketutung dekat Sungai Manday, kemudian mudik Sungai Manday dan bermukim di Segiam. Dalam catatan sejarah Kerajaan Bunut itu juga dikatakan bahwa Kerajaan Bunut adalah Kerajaan yang dipimpin oleh seorang penembah dari suku Kalis beragama Islam. Karena Agama yang pertama masuk ke Kapuas Hulu adalah Agama Islam.
Sementara pada kisah lain dalam penuturan para tetua sebelumnya seperti yang dikisahkan oleh Pak Thomas Timbang (usia 73 tahun) dan Pak Teddi Winardi (usia 58 tahun) warga Nanga Danau, mengisahkan migrasi Dayak Kalis dari Danau Ketutung. Di sini mereka mendirikan rumah panjang dalam pulau yang berada di tengah Danau Ketutungitu. Danau Ketutung ini dekat dengan Danau Buak di wilayah Bika Jabai Kecamatan Bika. Lokasi Danau Ketutung ini berada antara Sungai Manday dan Sungai Kapuas, Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat. Tidak diketahui secara pasti berapa lama mereka menetap di Danau Ketutung. Karena rumah panjang yang mereka tempati terbakar yang diduga karena serangandari musuh, akhirnya mereka pindah mudik Batang Sungai Manday dan bermukim di daerah bernama Segiam. Disini mereka dipimpin oleh enam orang pimpinan suku yakni Apu’ Arang Dano, Apu’ Iman Paninting, Apu’ Iman Ponyang, Apu’ Dakun Bulu Kara’ dan Apu’ Dakun Kasa’.
Ketika bermukim di Segiam, kondisi kehidupan sosial suku Ruk (Kalis) ini sangat tidak menentu. Hampir semua warganya tidak patuh dan taat pada adat istiadat dan aturan adat yang berdampak pada kurang harmonisnya kehidupan antar sesama. Sehingga muncul lah sebuah peristiwa dimana ada seorang anak tunggal laki-laki telah mati lemas dalam air saat menyelam jalanya yang tersangkut di unak (perangkap ikan terbuat dari duri-duri) yang secara sengaja di pasang oleh warga lain yang berniat jehil. Saat menyelam, gelang talinya tersangkut pada unak tersebut, sehingga dia tidak bisa kembali ke permukaan air dan akhirnya anak tersebut mati lemas dalam air. Peristiwa ini akhirnya membuat ibu dan bapak anak tersebut sangat sedih dan kecewa. Sehingga pada suatu saat datanglah seorang perantau pandai besi yang bisa menempa parang, beliung dan sebagainya dari daerah lain di kampung tersebut dan berjumpa dengan bapak dari anak laki-laki yang mati lemas dalam air saat menyelam jala nya. Kepada orang pandai besi tadi, sang bapak dari anak laki-laki itu mengisahkan kekecewaan dan kesedihannya serta meminta bantuan pada pandai besi tersebut dengan memberikan satu ikat tuba (akar beracun) dan pasir satu labu. Katanya “Jika kamu tidak mampu mengumpulkan bala (pasukan) dalam masa waktu tiga bulan, maka kamu minum air tuba ini, tapi jika kamu mampu mengumpulkan bala, kamu serang kami”. Dengan amanat tersebut, sang perantau pandai besi tersebut pergi pulang dan mengumpulkan bala sebanyak-banyaknya,yang dikenal dengan bala Luju.
Sebelum bala Luju tiba, warga di Segiam, sudah melakukan musyawarah untuk mengatur strategi dalam menghadapi bala Luju. Salah satu kesepakatan adalah, mereka akan turun satu persatu secara bergiliran untuk melawan bala Luju.Pasukan bala Luju ini sangat banyak, mereka datang menggunakan perahu. Dikisahkan, bahwa rombongan perahu yang mereka gunakan sangat banyak, maka susunan perahu bala Luju itu, perahu kepala rombongan di kampung Segiam, sementara ujungnya masih berada di Nanga Manday.
Akibatnya dalam penyerangan ini, pihak warga Segiam kalah dan melarikan diri. Ada dua pimpinanmereka yang melarikan diri yakni Apu’ Dakun Bulu Kara’ yang melarikan diri ke daerah Hulu Taman (Sugai ikan tapah) anak Sungai Segiam dan berdiam di Bukit Begantung.Kini diyakini sebagai orang tapuk (orang bunyian yang menghilang tapi diyakini masih hidup dalam alamnya). Pimpinan lain yang juga lari adalah Apo’ Suada, melarikan diri ke Kerangas Lokon Pandi’.Setelah rumah panjang itu kosong, para pasukan bala Luju naik kedalam rumah panjang untuk memastikan apakah semua warga sudah mati, sambil mengambil harta milik warga Segiam.
Dikisahkan,bahwa ada salah seorang dari bala Luju hendak membawa pulang kangkuang basi (kangkuang: alat musik pukul yang terbuat dari bahan besi). Saat membawa kangkuang basi itu turun tangga, benda tersebut tersangkut pada ujung pegangan tangga sehingga berbunyi sangat nyaring. Saat itu juga bunyi kangkuan basi itu langsung terdengar oleh Ne’ Lagi Siding yang berdiam di Nanga Dan (suku Urun Da’an) di perhuluan Sungai Manday. Mendengar bunyi kangkuang basi tersebut, Ne’ Lagi Siding pun terkejut. Sebab kelompoknya dengan warga Kalis yang berada di Segiam pernah berjanji. “Jika ada musuh yang menyerang Segiam, maka mereka akan memukul kangkuang, pertanda meminta bantuan dari Ne’ Lagi Siding”. Dengan mengunakan sampan yang terbuat dari batang kayu durian dan kayu penyao’ atas pemberian orang tapuk (bunyian: tidak nampak)khusus untuk menyerang musuh oleh mandat dari orang bunyian, yang tersimpan di bawah rumahnya, Ne’ Lagi Siding menuju Segiam menggunakan perahu yang daya kecepatannya sangat-sangat cepat itu. Ketika Ne’ Lagi Siding tiba di Segiam, bala Luju sudah pergi lari menuju Sungai Kapuas. Iya kemduian mengejar bala Luju dan hanya bisa membunuh sedikit dari banyaknya pasukan bala Luju dan akhirnya Ne’ Lagi Siding pun Kembali ke kampung halamannya.
Warga Kalis di Segiam yang melarikan diri kalah oleh bala Luju, mereka mudik Sungai Kalis dan bermukim di Sungai Torak anak Sungai Kalis sebelah kiri dan di sebelah hulu Nanga Sungai Tubuk anak Sungai Kalis sebelah kanan.Daerah ini dikenal dengan sebuat Banua Poten (pot). Ditempat ini lah mereka mendirikan enam rumah Panjang. Masing-masing tiga buah sebelah kanan Sungai Kalis sebelah dan tiga buah sebelah kiri Sungai Kalis yang posisi rumah panjangnya membentang (melintang) Sungai Torak, sehingga Sungai Torak tepat berada dibawah rumah panjang.Salah satu rumah panjang ditempat ini posisi nya tinggi dari dua lainnya. Ketiga rumah panjang di Nanga Torak ini juga di kenal dengan sebutan Torak Aung Saoen atau Sao Palabiang (tiang bangunannya lebih besar dan bangunannya lebih tinggi) yang dipimpin oleh Apu’ Tai’ Nua.
Pemukiman yang bernama Banua Poten ini dipimpin oleh enam orang pimpinan kelompok (lihat tabel), yang masing-masing memimpin kelompok kecil dalam masing-masing betang. Nama Poten sendiri berasal dari kata pot (rajin). Nama ini digunakan sebagai nama tempat pemukiman karena seluruh warganya sangat rajin memperbaiki rumah mereka jika terdapat kerusakan.Demikian pula kehidupan kebersamaan dan keharmonisasian seluruh warga, baik yang berada pada Nanga Sungai Torak maupun warga yang berada di seberangnya sangat baik. Di tempat pemukiman ini tidak diketahui secara pasti berapa lama mereka bermukim, namun hingga saat ini masih terdapat bekas pemukiman dengan ditandai adanya peninggalan tiang rumah panjang.
Di Banua Poten terdapat sebuah peristiwa dimana sorang gadis cantik berambut belang hitan, merah dan coklat menikah dengan seorang pemuda dari kelompok suku Dayak Punan. Dikisahkan bahwa sang pemuda Punan itu sedang mencari isteri yang diperoleh melalui mimpi. “Kamu jangan mmengayau dan membunuh mereka, tapi ketika kamu tiba disana (Banua Poten) maka akan melihat seorang gadis cantik dengan tanda rambut berbelang coklat, merah dan hitam, maka dia kamu nikahi, dan kamu harus tinggal dan menjadi warga suku gadis itu,’’ demikian pesan dari mimpi yang diterima oleh sang pemuda Punan tadi.
Mimpi ini terjadi sebanyak tiga kali, kali ketiga iya membawa beberapa orang untuk tujuan mengayau warga Dayak Kalis yang bermukim di Banua Poten. Setiba di pemukiman, persis di tepi sungai tempat warga mandi dan mencuci, sang pemuda Punan itu melihat seorang gadis cantik dengan rambut berbelang coklat, merah dan hitam. Seketika itu pula iya teringat dengan mimpi yang dialaminya. “Ternyata sungguh benar lah mimpi saya,” pikir sang pemuda Punan dalam hati. Sementara kawan-kawan rombongannya, tidak tahu apa yang sedang dialami oleh pemuda Punan tadi. Atas sebuah kebenaran, maka iya meminta semua teman-temannya untuk kembali pulang ke kampungdan meminta mereka tidak mengayau dan membunuh warga Kalis di Banua Potan.
“Jika kalian datang untuk niat membunuh, maka kalian akan berhadapan dengan saya, karenasaya akan tinggal, menetap dan menikah dengan warga Kalis di Banua Potan ini,” pesan Sang pemuda Punan itu kepada kawan-kawannya. Setelah rombongannya kembali, iya pun menuju sekelompok warga yang sedang bekerja di tengah ladang. Ditepi ladang itu iya membuka dan melepaskan semua peralatan perangnya dan berjalan menuju warga yang tengah bekerja di ladang. Tentu saja warga terkejut, siapa gerangan pemuda tanpa membawa senjata tajam dan pelindung diri yang menghampiri mereka. Setibanya iya mendekati kelompok warga yang tengeh bekerja itu, iya menceritakan identitas dan asalnya, yang berasal dari orang Punan yang berniat untuk mencari gadis cantik dan memiliki rambut berwarna coklat, merah dan hitam untuk dijadikan isterinya sesuai dengan mimpi yang iya terima, sembari menyerahkan dirinya untuk siap diterima, bersatu dan hidup bersama orang Kalis sepanjang hidupnya. Mendengar permohonan dan keinginannya, warga sepakat kembali ke rumah dan menunjukan sang gadis berambut coklat, merah dan hitam nan cantik itu kepadanya. Tentu saja kehadiran sang pemuda tampan Dayak Punan itu pun menjadi buah pikiran dalam hati gadis cantik Kalis. Atas niat baik sang pemuda Punan, maka para tetua dan orang tua gadis Kalisitu pun bersepakat dan setuju jika pemuda Punan menikah gadis Kalis berambut coklat, merah dan hitam yang bernama Indang itu. Dengan demikian maka nama pemuda Punan itu pun dikenal dengan nama Saung Ponanen dan diterima dalam strata sosal samagat, yang kemudian memimpin satu rumah panjang.
Sementara mereka bermukin di Banua Poten, ada juga sekelompok warga yang membuat pemukiman di Tandung Balawanen, arah ke hulu Sungai Kalis yang saat initempat itu berada di hilir Kampung Pulau Jambu.Pemukiman Tandung Balawanen ini di pimpin oleh salah seorang pemimpin bernama Apu’ Uling dan isterinya bernama Kabang.Mereka memiliki dua orang anak, pertama bernama Nyaring dan kedua bernama Dailang. Ditempat ini mereka diserang oleh musuh yang menewaskan isteri dari Apu’ Uling, akhirnya Apu’ Uling bersama kedua anaknya serta beberapa warga lainnya juga kemudian lari menuju ke Sungai Suruk, di tempat keluarga mereka untuk sementara waktu. Sementara Apu’ Uling dan anaknya memilih berdiam dalam gua di bukit Bunung. Ditempat ini lah Apu’ Uling meninggal dunia terjatuh dari jurang saat diserang musuh. Sehingga gua tersebut kini dikenal dengan nama gua Apu’ Uling.
Sementara itu, seluruh warga yang berada di Banua Poten juga diserang oleh musuh yang kemudian menyebabkan mereka pindah dan naik ke Bukit Sunan dan Lokon Sagu (kini masih ada jejak kuta/benteng berbentuk parit lebar dan dalam). Adapun Nyaring anak dari Apu’ Uling, seletah ayahnya meninggal, dia kemudian ikut rombongan yang pindah ke tampok (puncak) Bukit Sunan. Salah seorang pimpinan kelompok yang berada di Bukit Lokan Sagu yakni Apu’ Undan (yang juga seorang balian) dan Apu’ Sakat. Sementara pimpinan di Bukit Sunan bernama Apu’ Sawang dibantu Apu’ Sakat dari Bukit Lokun Sagu. Dikisahkan sebuah peristiwa yang terjadi di Bukit Sunan, berawal dari kemampuan Apu’ Undan yang memiliki pengetahuan dan kemampuan menyembuhkan orang sakit sebagai seorang manang (Seseorang yang memiliki kemampuan dan kekuatan yang bersumber dari para leluhur). Oleh keluarganya, Apu’ Undan ditantang untuk dapat menghadirkan buah tanaman hutan yakni sangalang dan langaja(di yakini adalah buah hantu). Sementara kedua buah ini sangat pantang untuk bisa muncul saat seorang manang sedang mengobati orang, jika buah itu muncul maka akan terjadi kematian bagi warga melalui penyakit. Sejak itu lah terjadi wabah penyakit yang menyebabkan banyak warga meninggal. Akibatnya Apu’ Undan dituduh penyebab kematian bagi warganya.
Karena situasi di bukit Sunan dan Bukit Lokun Sagusudah tidak memungkinkan untuk tempati, maka semua warga turun dan membuat enam rumah panjang (sao) di tepi Sungai Kalis. Pada pemukiman baru ini, salah satu rumah panjang yang terkenal adalah rumah panjang Sao Joloen yang dipimpin oleh Apu’ Nyaring yang letak posisinya saat ini berada di kampung Rantau Kalis.
b. Peristiwa Tiang Perdamaian (Patamuan Buno’).
Situasi saat itu masih belum terlalu aman, kelompok-kelompok suku masih mengayau sehingga masyarakat belum merasa damai dan tenang. Pada suatu ketika, Apu’ Nyaring pimpinan rumah betang Sao Joloen yang memiliki nama asli adalah Tumbung bermimpi. Dalam mimpinya disampaikan bahwa dia akan terkenal dan terdengar nyaring dimana-mana serta akan membawa perdamaian. Atas mimpinya ini lah nama Tumbung digelar dan dipanggil menjadi nama Nyaring (Apu’ Nyaring). Dengan penuh keyakinan diri bahwa iya dapat dan mampu membawa sebuah perdamaian, Apu’ Nyaring kemudian mengumpulkan sekitar 60 orang warganya untuk berangkat ke Nanga Gat di Sungai Batang Rajang, Sarawak Malaysia untuk sebuah misi perdamaian antara Dayak Kalis dengan Dayak Iban. Mereka pergi membawa satu buah tempayan guci dan satu buah tengkorak kepala. Setiba di rumah panjang Dayak Iban di Nanga Gat, mereka bertemu dengan pimpinan Iban yang bernama Ko’, dia adalah seorang temenggung di tempat itu. Ditempat itu mereka membuat sebuah pertemuan untuk menyepakati perdamaian antara Dayak Kalis dan Dayak Iban dan diduga juga bersama suku-suku lain yang berada di sekitar Sungai Batang Rajang.Pertemuan itu dilaksanakan di sebuah karangan(pantai atau pulau kecil di tengah sungai yang berbatuan) dekat pemukiman Temenggung Ko’. Pertemuan itu menghasilkan sebuah kata kesepakatan damai, dimana Apu’ Nyaring menyerahkan satu tempayan guci dan tengkorak kepala kepada Temenggung Ko’ dengan sumpah bahwa Dayak Iban tidak boleh lagi meyerang dan membunuh orang Dayak Kalis. Dikatakan dalam sumpah itu “apabila orang Iban melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap Dayak Kalis, maka mereka akan habis dan jadi tengkorak dan tempayan guci menjadi tempat menyimpan darah.” Syarat ini di terima oleh pihak Iban melalui Temenggung Ko’. Selanjutnya Temenggung Ko’ bersedia mengutuskan sebanyak sekitar 60 orang warganya yang dipimpin oleh seorang bernama Lingkung Samuri (dia memiliki keahlian dalam meramal mimpi) untuk mengikuti rombongan Apu’ Nyaring kembali ke kampungnya untuk melakukan hal yang sama dari posisi kelompok Dayak Iban.Ketika dua rombongan ini tiba di kampung Sao Joloen, mereka naik di rumah Apu’ Nyaring. Ditempat ini utusan orang Iban dan Dayak Kalis bersepakat lagi mendirikan sebuah tiang besar dan tinggi yang terbuat dari kayu belian sebagai tanda kesepakatan perdamaian dari pihak Iban dengan Dayak Kalis. Tiang itu dikenal dengan nama tiang Patamuan Buno’ (tiang penghentikan pembunuhan atau tiang perdamaian). Dalam lobang tiang itu dimasukan lah satu tengkorak kepala yang dibawa oleh orang Iban itu, baru kemudian tiang tersebut di tancapkan dengan posisi terbalik (posisi ujung daritiang kayu belian itu ditancapkan kedalam lobang). Dikatakan, saat itu juga orang Iban menyatakan sumpahnya, “apabila orang Kalis menyerang dan membunuh Orang Iban, maka orang Kalis akan habis seperti tengkorak itu, dan bagaimana pun hebat dan kuatnya orang Kalis, maka kekuatan mereka akan berbalik dan tidak berguna.”Posisi tiang perdamaian tersebut, saat ini berada di dalam pemukiman Kampung Rantau Kalis, Desa Rantau Kalis.
Nama-nama Pemimpin yang pernah memerintah di Rantau Kalis sebelum Kemerdekaan hingga sekarang:
a. ayang (Temenggung)
b. Doni (Kepala Kampung)
c. Jahui (Kepala Kampung)
d. Salemo (Kepala Dusun)
e. Majid (Kepala Dusun)
f. Agung Bintari (Kepala Dusun)
|