Bahwa dulunya (sekitar 250 tahun yang lalu) nenek moyang mereka yang bernama Op. Parlanggu Bosi Situmorang berangkat dari Desa Parmonangan ke daerah Lobu Tua-Huta Godang, yakni daerah atau tanah marga Situmorang Lumban Nahor. Dulu Op.Parlanggu Bosi Situmorang memiliki ilmu (datu/dukun), yang sampai saat ini peninggalannya berupa alat-alat atau barang pusaka (Sangge atau alat berburu jaring babi, Sapa atau tempat meramu obat yang terbuat dari kayu) masih bisa ditemui di rumah pusaka peninggalannya. Op.Parlanggu Bosi Situmorang memiliki istri yakni br Sijabat. Setelah di Lobutua ia kemudian menikah untuk yang ke dua dan ketiga kalinya, keduanya br Simbolon dari huta Simbolon.
Suatu ketika di daerah Lobu tua terjadi perselisihan (pertikaian) antara Sumba dan Lontung dalam memperebutkan batas wilayah. Op.Parlanggu Bosi Situmorang berperan dalam menyelesaikan permasalahan ini dengan menentukan tapal batas wilayah Sumba dan Lontung. Demikian Op.Parlanggu Bosi Situmorang membantu marga Situmorang Lumban Nahor yang menguasai/menduduki sebagian wilayah Lontung yang berbatasan langsung dengan wilayah Sumba. Akhirnya setelah perselisihan berakhir, untuk membalas kebaikan Op.Parlanggu Bosi Situmorang, oleh Situmorang Lumban Nahor (saat itu sebagai Raja Tano) memberikan sebidang tanah untuk dipilih Op.Parlanggu Bosi Situmorang (Situmorang Suhut Nihuta) menjadi areal perkampungannya beserta keturunannya.
Demikian Op.Parlanggu Bosi Situmorang akhirnya menunjuk kampung ini (Langgelangge) menjadi perkampungannya atau wilayah kekuasaannya.
Sesuai dengan kebiasaan orang Batak saat membuka perkampungan, Raja tano memberikan:
1. Parhutaan (tambak/parumasan tempat penyatuan tulang belulang nenek moyang, parit huta sebagai perbatasan huta).
2. Saba (areal persawahan).
3. Pangulaan Butu Raja (perladangan yang berjarak ±1 km dari Langgelangge ).
4. 4. Parjampalan (tempat yang sengaja tidak diusahai untuk dijadikan tempat penggembalaan ternak).
Lalu Op.Parlanggu Bosi Situmorang mengadakan pesta peresmian huta Langelangge dengan mengundang Raja Bius, natu-tua huta (para tetua adat) di Lobutua serta raja bius tetangga sesuai adat yang berlaku pada masa itu. Demikian Op.Parlanggu Bosi Situmorang mulai menata perkampungannya, dan keturunannya semakin banyak. Saat ini keturunannya sudah banyak yang merantau. Sampai sekarang keturunan Op.Parlanggu Bosi Situmorang sudah 5-6 sundut (generasi). Saat ini, perkampungan ini didiami 28 KK turunan Op.Parlanggu Bosi Situmorang. Keturunan dari Op Parlanggu Bosi terdiri dari beberapa ompu seperti
- Op. Ampamasa
- Op. Bunga Jadi
- Op. Bilangan
- Op. Runti
- Op. Rajaniain
Tanah yang luasnya sekitar 172.15 Ha, yang disebut dengan Pangulaan Buntu Raja, oleh pihak Kehutanan menyebutnya dengan Dolok Panantanan, mereka kelola sebagai areal perladangan secara tradisional, yakni masa penanaman 3 tahun untuk bertanam padi gogo, dan tanaman lainnya, setelah itu tanah diistirahatkan selama berpuluh tahun, membiarkan tanah ditumbuhi ilalang agar unsur hara tanah pulih untuk penanaman berikutnya. Selama masa istirahat tanah, mereka berpindah berladang ke lahan sekitarnya, dan lahan ini dijadikan tempat penggembalaan ternak, begitulah cara mereka berladang saat itu.
Tanah ini terletak di tengah-tengah perkampungan penduduk antara Huta Paningkiran dengan Huta Langge-langge (keduanya masih di Kecamatan Palipi). Tanah tersebut diapit lahan masyarakat, dan hanya dibatasi gundukan tanah yang sengaja dibuat Dinas Kehutanan (tidak ada tanda batas seperti pilar).
|