Menurut peraturan tata negara Kesultanan Aceh, sebagaimana tertuang dalam naskah lama “Adat Aceh , wilayah Aceh terbagi ke dalam wilayah administrasi yang disebut dengan Sagoe (Sagi), negeri (wilayah ulee balang), Mukim dan gampong. Wilayah Sagoe hanya terdapat di Aceh Rayeuk (sekarang meliputi wilayah Kota Banda Aceh, Aceh Besar), yaitu Sagoe XXII Mukim, Sagoe XXV Mukim dan Sagoe XXVI Mukim. Selama era Kesultanan Aceh, Panglima Sagoe XXII Mukim, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam proses pemilihan dan penetapan Sultan Aceh, serta mempunyai wilayah yang sangat luas hingga mencakup wilayah VII Mukim Padang Tiji, yang terletak di sisi Timur Gunung Seulawah.
Mukim Lamteuba terletak di wilayah Sagoe XXII Mukim, yang dipimpin oleh Panglima Sagoe yang bergelar Panglima Polem, secara turun temurun, hingga tahun 1946. Panglima Sagoe XXII Mukim terakhir adalah Teuku Muhammad Ali Panglima Polem. Mukim Lamteuba merupakan Mukim swapraja atau Mukim otonom dan berada di bawah Panglima Polem. Artinya tidak tunduk kepada ulee balang (hulu balang) lain.
Berdasarkan sejarah lisan, yang diwariskan secara turun temurun, penduduk awal Mukim Lamteuba merupakan bagian dari sukee imum peut. Pada masa-masa awal Kesultanan Aceh, di Aceh Rayeuk (Aceh Besar – Kota Banda Aceh) terdapat empat sukee utama, yaitu: sukee lhee reutoh (300), sukee Ja Sandang, Sukee tok Batee dan Sukee Imuem peut. Sukee Imuem peut, merupakan sukee yang berdiam di wilayah Seulimuem, Indrapuri dan sekitarnya, dalam wilayah Sagoe XXII Mukim, atau wilayah kuasa Panglima Polem. Pengaruh sukee imuem peut ini cukup pada masa Kesultanan Aceh.
Kata Lamteuba berasal dari kata lham (tembilang) dan teubai (tebal). Adapun versi lain mengatakan kata Lamteuba berasal dari Lham Teuba yang berarti tembilang yang terbawa, yang lama kelamaan masyarakat menyebutnya Lamteuba. Berdasarkan cerita turun temurun (foklor), dahulu kala, wilayah Lamteuba merupakan sebuah danau yang luas. Kampung pertama di Lamteuba bernama Krueng Lingka. Kemudian ada seorang ulama yang bernama Tuan Tak Hasan mencoba menyurutkan air dengan membelah sebuah gunung, gunung tersebut dinamakan gunung Cot Puteng yang mana ulama tersebut membelah gunung menggunakan tembilang yang sampai hari ini masih bisa di temukan di atas bukit Cot Puteng tersebut. Tuan Tak Hasan menggali sebuah sumur yang di fungsikan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat sekitar, sumur ini di beri nama Mon Tuan Tak Hassan, yang terletak di desa Lamteuba Droe. Setelah genangan air kering maka masyarakat yang tinggal di lereng gunung Seulawah turun ke daerah tersebut dan membentuk sebuah gampong yang bernama Krueng Lingka. Seiring waktu, lokasi peMukiman penduduk Krueng Lingka bergeser ke daerah yang lebih rendah dan membentuk gampong baru yang di beri nama gampong Lamteuba Droe, gampong Krueng Lingka pun menjadi gampong Talo.
Setelah genangan air berhasil surut maka para penduduk yang berada di atas Seulawah turun mendiami bekas kawasan air surut tersebut. Dataran yang pertama sekali terlihat ketika air surut namapk seperti sebuah pulau, tempat itu kemudian dinamakan gampong Pulo. Kemudian terlihat lagi muncul pula daratan berupa sebuah pantai, sehingga melahirkan toponimi gampong Lampante. Demikian seterusnya, sehingga muncul nama tempat seperti Lambada, Ateuk, Lam Apeng dan Meurah.
Di sekeliling dan di tengah wilayah Mukim Lamteuba terdapat banyak sekali makam ulama dan para Aulia. Ada sekitar 44 makam, namun hanya beberapa makam ulama saja yang dapat di ketahui namanya diantaranya :
1. Kuburan Tengku Japakeh terletak di Gampong Ateuk
2. Kuburan Tengku Blang Kala terletak di gampong Ateuk
3. Kuburan Tengku Kayee Adang terletak di gampong Lam Apeng
4. Kuburan tengku Keumereuk terletak di Krueng Tengku
5. Kuburan Tengku Lamcot terletak di atas Seulawah (Gampong Pulo dan Gampong Lamteuba Droe)
6. Kuburan Tengku Cot Meunasah terletak di Gampong Blang Tingkeum
7. Kuburan Tengku Cot Lhok Kueh ketika kita masuk ke Lamteuba melalui Seulimuem.
Mukim Lamteuba Masa Pendudukan Belanda
Pada masa perang Aceh, pendudukan Belanda di Lamteuba pada awalnya mereka menetap di Blang Peukan kemudian mereka juga membangun tembok di kaki Seulawah Agam sebagai benteng pertahanan. Setelah Aceh diduduki Hindia Belanda, Mukim Lamteuba tetap menjadi bagian dari wilayah Sagoe XXII Mukim, dan berada di bawah pejabat konteler, (administrator kolonial, (Controleur) di Seulimuem.
Mukim Lamteuba Masa Pendudukan Jepang
Masa pendudukan Jepang banyak rakyat Lamteuba yang hidup sengsara dan menderita, rakyat berada di bawah tekanan kerja paksa tanpa di beri makan dan memakai pakaian seadanya. Selain itu Jepang ketika tinggal di Lamteuba mereka banyak yang berjudi dan meminum arak. Selama masa pendudukan Jepang juga kerja paksa untuk membangun jalan. Segala hasil pertanian seperti padi di kumpulkan dan di larang bawa ke luar Lamteuba yang semuanya untuk kebutuhan Jepang saja.
Mukim Lamteuba Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 maka terlepaslah masa belenggu rakyat dari pejajahan, tak terkecuali penjajahan yang dialami oleh masyarakat Mukim Lamteuba. Salah satu bentuk wujud dari kemerdekaan di Mukim Lamteuba dengan memasang bendera Merah Putih di di setiap rumah-rumah .
a. 1958-1960: membangun jalan rintisan dari pusat kecamatan ke Mukim Lamteuba secara swadaya.
b. 1959: Mukim Lamteuba masuk ke Mukim Seulimuem
c. Di bangunnya markat dan tempat latihan Tentara Islam Indonesia (TII) dan Darul Islam (DI) di Lamteuba yang di kawasan yang sekarang dinamakan Tren Bhan.
d. 1964: terjadi gempa besar banyak rumah hancur dan memakan korban jiwa
e. 1976: di buka jalan dari Mukim Krueng Raya ke Mukim Lamteuba
f. 1979: lahir UU desa, gampong berubah menjadi Desa,status Mukim hilang, hak-hak adat mulai hilang.
g. 1983: PT.Indonusa Indrapuri masuk ke Mukim Lamteuba dengan skema HTI untuk kertas (akasia dan ekaliptus).
h. 1985: didirikan perusahaan kebun ulat sutra di kawasan paya dua. Karena konflik Aceh, pada tahun 1999 mereka keluar.
i. 2002 – 2004, Mukim Lamteuba mulai aktif mengikuti agenda penguatan adat dan lembaga adat.
j. 2005: dampak dari Tsunami 2004 banyak pohon-pohon di hutan Lamteuba yang di tebang untuk rekontruksi Aceh.
k. 2008: Lokakarya penguatan adat Mukim lamteuba, menggagas penguatan lembaga keujruen blang.
l. 2008 – 2012. Mukim Lamteuba perpartisipasi dalam berbagai agenda pelestarian lingkungan.
m. 2010: untuk pertama kali Mukim Lamteuba mengukuhkan lembaga adat keujruen blang dan aturan adat blang.
n. 2013: rencana pembanguan pembangkit listrik tenaga panas bumi.
o. 2019: merumuskan strategi dan kegiatan untuk keberlanjutan penguatan adat, lembaga adat dan hak-hak adat Mukim lamteuba
Hubungan Lamteuba dengan Dayah Tanoh Abe
Menurut penuturan Muktha Walli hubungan masyarakat Lamteuba dengan Dayah Tanoh Abe sangatlah dekat, selain banyak orang-orang Lamteuba yang menuntut ilmu di sana, dan di ketahui juga di Lamteuba ada beberapa keluarga yang masih mempunyai hubungan darah dengan keluarga Tengku chik Tanoh Abee.
Nama - Imeum Mukim Lamteuba yang masih terekam dalam ingatan masyarakat hingga sekarang.
1) Naim
2) Ibrahim
3) Dahlan
4) Al Salam
5) Yasin
6) Tgk. Hasyim Ibrahim : 1978 - 2010
7) Sahnun: 2010 – 2012
8) Ramaji: 2012 – 2017
9) Bahrum: 2017 - sekarang
|