Secara adat, kepemilikan atas tanah atau lahan dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu: Pertama: kepemilikan seko menyeko atau kepemilikan perseorangan/individu maupun satu keluarga. Warga atau keluarga yang membuka tanah, lahan, baik yang masih berupa hutan maupun bukan hutan di kawasan tertentu untuk ladang maupun kebun yang diolah terus-menerus dapat dijadikan dasar kepemilikan tanah dan lahan bagi warga atau keluarga tersebut; Kedua: kepemilikan parene’atn yaitu tanah/lahan warisan di mana segala isisnya menjadi milik dari beberapa keluarga dalam satu garis keturunan. Dan, untuk generasi berikutnya dari warga atau keluarga pada poin a di atas, kepemilikan tersebut bisa dijadikan dasar bagi kepemilikan tanah atau lahan untuk beberapa keluarga dalam satu keturunan dan keluarga tersebut; Ketiga: kepemilikan saradangan adalah kepemilihan tanah/lahan dengan segala isisnya menjadi milik satu kampung tertentu; Keempat: kepemilikan binua adalah kepemilikan tanah atau lahan dengan dengan segala isinya dimiliki oleh beberapa kampung di dalam wilayah kesatuan hukum adat atau ketemenggungan. Kemudian, berdasarkan keadaan tanam-tumbuh yang terdapat di atas tanah atau lahan, tanah digolongkan sebagai tanah jerami’, pantusatn, pararo’atn, rame tuha, magokng, udas pekarangan (yang dekat dari kampokng), udas palasar palaya’ (yaitu tanah yang letaknya jauh dari kampokng), kompokng/timawakng. |